Selasa, 27 Mei 2014

MAKALAH ABORSI, EUTHANASIA & BAYI TABUNG

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ajaran syariat islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di antara panca maslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis agama islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika, sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syari’ah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Tak sampai disitu saja, perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah Euthanasia. Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.
            Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, apakah hal itu dilakukan oleh remaja yang terlibat pergaulan bebas ataupun para orang dewasa yang tidak mau dibebani tanggung jawab dan tidak menginginkan kelahiran sang bayi ke dunia ini. Data WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 15-50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia. Dengan kata lain, 1 dari 8 ibu meninggal dunia akibat aborsi yang tidak aman.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah  hukum aborsi menurut pandangan hukum islam?
2.      Bagaimanakah  hukum aborsi menurut pandangan hukum positif Indonesia?
3.      Apa pengertian euthanasia?
4.      Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?
5.      Bagaimana hukum positif tentang euthanasia?
6.      Apakah pengertian bayi tabung
7.      Bagaimana hukum bayi tabung menurut pandangan hukum islam?

C.    Tujuan
1.      Mengerti tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum islam
2.      Mengerti tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum positif Indonesia
3.      Mengerti tentang euthanasia
4.      Mengerti tentang hukum euthanasia menurut pandangan islam
5.      Mengerti tentang hokum positinf euthanasia
6.      Mengerti tentang pengertian bayi tabung
7.      Mengerti tentang hokum bayi tabung menurut pandangan islam



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Aborsi dan Perkembangannya
Aborsi merupakan hasil dari propaganda pembatasan jumlah penduduk dan pertumbuhan populasi manusia. Propaganda ini telah lama muncul yaitu diakhir abad ke-18 Masehi. Orang yang pertama kali mempropagandakan ide ini yaitu ide untuk membatasi jumlah penduduk dan pertumbuhan populasi manusia adalah “Malthus”. Ide ini muncul ketika ia beranggapan bahwa banyaknya jumlah penduduk akan mengakibatkan dampak yang berbahaya bagi sumber daya alam, dimana jumlah penduduk akan terus bertambah secara teknis dan berkesinambungan. Padahal, pada mulanya timbul banyak pertentangan mengenai aborsi baik dari masyarakat maupun pemerintah.
        Teori Malthus ini diikuti oleh masa berikutnya akan tetapi dengan menggunakan alat-alat pembatasan keturunan. Gerakan ini terus berkembang di Amerika dan disambut hangat dari kalangan penduduk dan negara, sehingga hal ini menjadi tradisi umum sampai terjadi perang dunia pertama th 1914 -1918 H. Adapun bangsa arab maka merekalah yang paling banyak melakukukan aborsi, sehingga sebagian kabilah mereka membunuh anak mereka karena takut miskin. Lalu tinggallah para wanita yang mereka biarkan hidup dalam keadaan terabaikan atau kemiskinan.

B.  Pengertian Aborsi
1.      Abortus secara bahasa berasal dari bahasa Inggris abortion, yang berarti keguguran kandungan.
2.      Menurut istilah abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum kehamilan berumur 16 minggu. Abortus merupakan suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari kandungan, sebelum janin itu dapat hidup diluar kandungan seorang ibu.

3.      Aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Secara harfiah menstruasi regulation artinya adalah pengaturan menstruasi atau haid. Akan tetapi dalam prakteknya menstruasi regulation dilakukan terhadap wanita yang terlambat waktu menstruasi dan berdasarkan pemeriksaan laboratorium ternyata positif mengandungdan dilakukan secara sengaja. Islam melarang menstruasi regulation karena pada hakikatnya sama dengan abortus, merusak atau menghancurkan jiwa yang dimuliakan oleh Allah SWT.
4.      Menurut istilah kedokteran, aborsi adalah megeluarkan isi rahim sebelum mencapai 28 minggu, yang menjadikanya tidak dapat hidup. Maka bila lahir setelah waktu tersebut tidak dinamakan sebagai aborsi menurut kedokteran, tetapi ia dinamakan dengan kelahiran sebelum waktunya.
5.      Menurut istilah undang-undang, aborsi adalah mengeluarkan janin dengan unsur kesengajaan sebelum waktu kelahiran dan dilakukan dengan segala cara yang tidak dihalalkan oleh undang-undang.
Maka diberlakukannya hukum bila terdapat tiga syarat yang mengacu pada tindakan aborsi, yaitu:
1.       adanya kehamilan
2.      adanya praktek-praktek yang mengacu kepada tindakan aborsi
3.       adanya maksud perbuatan kriminal.
6.      Menurut istilah Ulama Syar’i, aborsi adalah  berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat – akibat tertentu ) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan yang tidak dikehendaki atau diinginkan.
7.      Aborsi menurut (Dorland, 2002) adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus, embrio  yang belum dapat hidup. Dengan kata lain, aborsi adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin.
8.      Aborsi dalam istilah medis adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur. 
9.      Sedangkan dalam istilah syari’at, aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna walaupun janin belum mencapai usia enam bulan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa aborsi secara syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk janin tersebut.

C. Macam – Macam Aborsi
Aborsi itu sendiri dibagi menjadi tiga yaitu:
1.      Aborsi Spontan / Alami (Al-Ijhâdh at-Tilqâ’i atau al-‘Afwi)
Merupakan aborsi yang berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau aborsi yang terjadi secara alami tanpa adanya upaya - upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut.

2.      Aborsi Terapeutik / Medis (Al-Ijhâdh al-‘Ilâji)
Merupakan aborsi dengan pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medis. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya.Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

3.      Aborsi Buatan / Sengaja (Al-Ijhâdh al-Ijtimâ–’i)
Merupakan aborsi yang dilakukan dengan mengakhiri kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).

Melihat klasifikasi yang ada di atas, dapat dilihat bahwa jenis pertama tidak masuk dalam kemampuan dan kehendak manusia.

            Sedangkan jenis kedua tidaklah dilakukan kecuali dalam keadaan darurat yang menimpa sang ibu, sehingga kehamilan dan upaya mempertahankannya dapat membahayakan kehidupan sang ibu. Sehingga aborsi menjadi satu-satunya cara mempertahankan jiwa sang ibu, dalam keadaan tidak mungkin bisa mengupayakan kehidupan sang ibu dan janinnya bersama-sama. Dalam keadaan seperti inilah mengharuskan para medis spesialis kebidanan mengedepankan nyawa ibu daripada janinnya. Memang nyawa janin sama dengan nyawa sang ibu dalam kesucian dan penjagaannya, namun bila tidak mungkin menjaga keduanya kecuali dengan kematian salah satunya maka hal ini masuk dalam kaedah “Melanggar yang lebih ringan dari dua madharat untuk menolak yang lebih berat lagi” (Irtikâbul khaffi ad-Dhararain Lidaf’i A’lahuma).

            Di sini jelaslah kemaslahatan mempertahankan nyawa sang ibu didahulukan daripada kehidupan sang janin, karena ibu adalah induk dan tiang keluarga. Dengan takdir Allah Azza wa Jalla ia bisa melahirkan berulang kali, sehingga didahulukan nasib sang ibu dari janinnya.
            Permasalahan yang penting dalam pembahasan ini adalah hukum aborsi jenis ketiga yaitu Al-Ijhâdh al-Ijtimâ’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi.Telah dimaklumi bahwa janin mengalami fase-fase pembentukan sebelum menjadi janin yang sempurna dan lahir menjadi bayi. Di antara pembeda yang banyak dilihat para ahli fikih yang berbicara dalam hal ini adalah adanya ruh dalam janin tersebut.

D.    Hukum Abortus
Aborsi merupakan suatu pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia dan merupakan suatu dosa besar. Merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yaitu pada Surat Al Maidah ayat 32, setiap muslim meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh semua umat manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu membunuh anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya secara layak. Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syari’at Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga. Sehingga Islam memperbolehkan seorang wanita hamil untuk buka puasa (tidak puasa) pada bulan ramadhan. Bahkan kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan kesehatan kandungannya. Karena itu syari’at Islam mengharamkan tindakan yang melampaui batas terhadapnya. Meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram, yang dilakukan dengan jalan perzinahan, janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang tidak berdosa.
Firman Allah dalam Q.S Al-isra’ yang artinya:
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”
(Al-Isra’:15)
Allah berfirman dalam QS. Al-Israa : 31
Artinya:
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Dengan dasar ini maka hukum aborsi dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua:

1.   Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh

Melihat pendapat para Ulama fikih dari berbagai madzhab, dapat disimpulkan bahwa pendapat mereka dalam masalah ini menjadi 3 kelompok:
a.       Kelompok yang membolehkan aborsi sebelum ditiup ruh pada janin. Ini pendapat minoritas Ulama madzhab Syâfi’iyah, Hambaliyah dan Hanafiyah.
b.      Kelompok yang membolehkan aborsi sebelum dimulai pembentukan bentuk janin yaitu sebelum empat puluh hari pertama. Ini pendapat mayoritas mazhhab Hanafiyah, Syâfi;’iyah dan Hambaliyah. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah.
c.       Kelompok yang mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan dalam rahim. Ini pendapat yang rajih dalam madzhab Mâlikiyah, pendapat imam al-Ghazâli, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab al-Hambali dan Ibnu al-Jauzi. Inilah pendapat madzhab Zhahiriyah.
Sedangkan Syaikh Ahmad Sahnuun seorang Ulama dari Maroko menyatakan: “Aborsi adalah perbuatan tercela dan kejahatan besar yang dilarang dalam Islam. Juga diingkari jiwa kemanusian dan jiwa-jiwa yang mulia menolaknya. Sebab hal itu adalah pembunuhan jiwa yang Allah Azza wa Jalla haramkan, perubahan ciptaan Allah Azza wa Jalla dan menentang takdir/kehendak Allah Azza wa Jalla ”.
Islam telah melarang membunuh jiwa seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
(Qs Al-Isra`/17:33)
Sebagaimana juga melarang sikap merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ

“Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya.”
[Qs.An-Nisaa`(4):119]

         Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya” [Qs. At-Takwîr(81): 8]

         Baik aborsi dilakukan di fase awal janin atau setelah ditiupkan ruh padanya. Sebab semua fase pembentukan janin berisi kehidupan yang harus dihormati, yaitu kehidupan pertumbuhan dan pembentukannya. Hal ini menyelisihi orang-orang yang membolehkan aborsi sebelum ruh ditiupkan. Mereka beranggapan bahwa sebelum adanya ruh maka tidak ada kehidupan padanya, sehingga tidak ada kejahatan dan keharaman. Mereka dengan membolehkan hal itu berarti telah membuka pintu yang sulit dibendung dan memberikan senjata kepada tangan lawan dan musuh Islam untuk mencela Islam. Setelah dipastikan secara ilmiyah bahwa aborsi memiliki bahaya bagi kesehatan dan kehidupan wanita, sehingga aborsi diharamkan untuk dilakukan, karena menghilangkan madharat lebih didahulukan dari mengambil kemaslahatan.

         Sedangkan DR. Ibrahim Haqqi menyatakan: “Diharamkan aborsi karena merupakan pembunuhan jiwa yang tidak berdosa dan menjerumuskan jiwa lainnya yaitu sang ibu kepada bahaya yang banyak hingga bahaya kematian. Ini adalah perkara yang terlarang.”

2.   Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh Pada Janin (Setelah Empat Bulan)
Telah dijelaskan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hukum aborsi saat sebelum peniupan ruh pada janin. Sedangkan setelah peniupan ruh, para ahli fikih sepakat bahwa janin telah menjadi manusia dan bernyawa yang memiliki kehormatan dan kemuliaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
[Qs. Al-Isrâ`(17) : 70]
 firman Allah Azza wa Jalla :

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya”.[Al-Mâidah(5):32]

Demikianlah, menjadi jelas bagi kita bahwa aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin adalah kejahatan yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan sangat darurat yang dipastikan. Caranya dengan mengambil keputusan para medis yang terpercaya dan ahli di bidang tersebut; yaitu bahwa adanya janin itu membahayakan kehidupan sang ibu. Perlu diketahui dengan adanya kemajuan sarana kedokteran modern dan kemampuan ilmu serta tersedianya semua keperluan tentang hal itu, maka aborsi untuk penyelamatan nyawa ibu adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi.

E.     Sebab-Sebab Aborsi
1.       Karena takut miskin atau pengahasilan yang tidak memadai, aborsi ini dilarang berdasarkan firman Allah Stw :
Dan janganlah kamu membunnuh anak -  anakmu karena takut kemiskinan.  kamilah yang akan memberi rezeki kepada meraka dan juga kepadamu. sesungguhnya mmembunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”(Qs. Al Israa’ (17): 31)
  1. karena ibu khawatir anak yang tengah disusuinya terhenti mendapatkan asi
  2. takut janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya
  3. kekhawatiran akan kelangsungan hidup ibu apabila kehamilan membahayakan kesehatannya
  4. niat menggugurkan janin pada kanndungan kehamilan yang tidak di syariatkan akibat perzinahan
Dalil tentang aborsi dalam al-Quran, antara lain :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (Alasan) yang benar. dan barang siapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. seungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al Israa’ (17) :33)
“Setiap muslim meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh semua umat manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu membunuh anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya secara layak.”(Qs. Al Maidah (5): 32)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
(QS Al-Isrâ`[17]: 31).

“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (QS at-Takwîr [81]: 8-9).


F.     Resiko dan Dampak dari Aborsi
1.    Resiko Aborsi
Aborsi memiliki resiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang “. Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
a.       Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
b.       Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
c.        Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
d.       Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
e.        Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
f.        Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita).
g.        Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
h.       Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
i.         Kanker hati (Liver Cancer).
j.         Kelainan pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada kehamilan berikutnya.
k.       Menjadi mandul atau tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
l.         Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
m.     Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
2.    Dampak Aborsi
a.       Timbul luka-luka dan infeksi-infeksi pada dinding alat kelamin dan merusak organ-organ didekatnya seperti kandung kemih  atau usus.
b.       Robek mulut rahim sebelah dalam (satu otot lingkar). Hal ini dapat terjadi karena mulut rahim sebelah dalam bukan saja sempit dan perasa sifatnya, tetapi juga kalau tersentuh, maka ia menguncup kuat-kuat. Kalau dicoba untuk memasukinya dengan kekerasan maka otot tersebut akan menjadi robek.
c.        Dinding rahim bisa tembus, karena alat-alat yang dimasukkan ke dalam rahim.
d.       Terjadi pendarahan. Biasanya pendarahan itu berhenti sebentar, tetapi beberapa hari kemudian atau beberapa minggu timbul kembali. Menstruasi tidak normal lagi selama sisa produk kehamilan belum dikeluarkan dan bahkan sisa itu dapat berubah menjadi kanker.
G.    Aborsi Menurut Pandangan Hukum Islam
Abortus (al-ijhâdh)menurut bahasa berarti menggugurkan kandungan yang kurang masanya atau kurang kejadiannya, tidak ada perbedaan antara kehamilan anak permpuan atau laki – laki, baik aborsi ini dilakukan dengan sengaja atau tidak. Lafazh ijhadh memiliki beberapa sinonim seperti isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah (melempar), dan imlash (menyingkirkan).
Ada beberapa pendapat para ulama fiqih tentang  aborsi dilakukan sebelum dan sesudah ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Pendapat yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh.
Pendapat yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar dalam kitabnya At Tuhfah dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan.

            Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut.
Firman Allah SWT:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

 “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).” (QS al-An’âm [6]: 151)

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al-Israa` [17]: 33).

            Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam atau lebih adalah hadis Nabi s.a.w berikut:

إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ. قَالَ يَا رَبِّ   ... أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِى رَبُّكَ مَا شَاء

“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),'Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?' Maka Allah kemudian memberi keputusan...” [HR Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadis shahih dalam masalah tersebut.
            Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.

            Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan 'azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. 'Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab 'azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem­puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah s.a.w telah membolehkan 'azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin­kan budak perempuannya hamil. Rasulullah s.a.w bersabda kepa­danya:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَاعْزِلْ ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَعْزِلْ. ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَعْزِلْ.
 “Dari Sa’id bin al-Musayyab (isteri-isterimu adalah lading bagimu, maka datangilah ladangmu dari menurut kehendakmu), Rasulullah s.a.w. bersabda: Lakukanlah 'azl padanya jika kamu suka, jika kamu (tak) menghendaki jangan kamu lalukan!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud]

            Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu.

Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
(QS al-Mâ’idah [5]: 32).
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasu­lullah s.a.w telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah s.a.w bersabda:

 إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!” [HR. Ahmad].

Kaedah fikih dalam masalah ini menyebutkan:

إِذَا تَعَارَضَتْ المَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

“Jika berkumpul dua mafsadat (keburukan), maka harus dipertimbangkan yang lebih besar madharatnya dan dipilih yang lebih ringan (madharatnya).” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).

Berdasarkan kaedah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al-Baghdadi, 1998).

Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah s.a.w. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadis-hadis yang membolehkan ‘azl.

H.    Aborsi Menurut Hukum Positif Indonesia
1.   Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP BAB XIX).
Dalam kitab UU hukum pidana (KUHP) Indonesia melarang aborsi dan sanksi hukumnya cukup berat. Hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan tetapi semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu.
Tindakan aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang Aborsi (Abortus Provocatus):
a.      Pasal 229 (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karenapengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. (2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. 
b.      Pasal 314 “Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
c.       Pasal 342 “Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
d.      Pasal 343 “Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
e.       Pasal 346 “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
f.       Pasal 347 (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
g.      Pasal 348 (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
h.      Pasal 349 “Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan”.
i.        Pasal 535 “Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
·         Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh           orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
·         Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa            persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil           tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
·         Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu    hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
·         Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan   atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktik dapat dicabut.
·         Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta     mempertahankan hidupnya.

I.       Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentanng Kesehatan
Pengaturan mengenai praktik aborsi diatur di dalam Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan KUHP. Pada prinsipnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi, sebagaimana dimaksud di dalam pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan berikut ini :
1.      Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (Namun, menurut pasal 75 ayat 2)
2.      UU Kesehatan, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a.       indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.      kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
c.       Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Menurut Pasal 76 UU Kesehatan menyatakan syarat-syarat boleh dilakukannya aborsi.
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1.      Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
2.      Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.
3.      Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
4.      Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
5.      Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Adapun ancaman pidana untuk pelanggar pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan di atas terdapat di dalam pasal 194 UU Kesehatan berikut ini :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Sanksi pidana di dalam KUHP untuk praktik aborsi pun dinyatakan secara tegas untuk bidan atau dokter yang membantu melakukan kejahatan ini ( pasal 346, 347, 348, dan 349). Pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

J.       Aborsi Sebagai Problematika Masyarakat
Ketika hak asasi manusia untuk hidup dan menikmati kehidupan, maka pada saat itulah terjadi sebuah kekejaman yang teramat keji. Terlebih lagi ketika yang dibunuh adalah sesosok bayi mungil dalam kandingan ibundanya yang beberapa waktu ke depan akan tumbuh menjadi bayi yang normal. Aborsi merupakan tindakan yang nyata dan menjadi problematika karena frekuensi aborsi di Indonesia agak sulit dihitung secara akurat karena memang sangat jarang yang pada akhirnya dilaporkan.
Memang yang ada hanya angka-angka yang berupa data statistik, namun kita seharusnya dapat menganalisa secara lebih mendalam bahwa dari angka yang teramat besar itulah nyawa-nyawa bayi-bayi mungil yang tidak berdosa dipaksa untuk mati dengan dibunuh secara keji. Sungguh tingkat pembunuhan yang sangat terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan peristiwa peperangan ataupun peristiwa kematian akibat penyakit di suatu negara yang bahkan tidak sampai setengahnya dibandingkan dengan tingkat aborsi. Secara total dalam sejarah dunia pun, jumlah kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabung sekaligus. Selain dari keselamatan bayi, keselamatan wanita hamil yang melakukan aborsi juga sangat mengkhawatirkan dan memiliki risiko kematian cukup besar.
Bagaimana pula dengan petugas medis yang tampak tidak merasa bersalah ketika membantu proses aborsi berlangsung bahkan menjadikannya sebagai komoditi jasa yang menjanjikan pendapatan yang cukup besar. Sampai saat ini memang cukup banyak praktik aborsi yang bahkan sebagian besar ilegal. Beberapa hal di atas merupakan problematika aborsi dalam masyarakat, mengingat alasan melakukan aborsi ada beragam, diantara ketidaksiapan mempunyai anak karena khawatir mengganggu karir atau kesibukan, keterbatasan ekonomi atau bahkan karena ingin menutupi aib karena hamil di luar nikah. Alasan tersebut kesemuanya tidak bisa dibenarkan, untuk lebih jauh pembahasannya akan doterangkan pada bab selanjutnya mengenai hukum aborsi dipandang dari berbagai sumber
K.    Pengertian Bayi Tabung (Inseminasi Buatan)
 Bayi tabung merupakan terjemahan dari artificial insemination. artificial artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari kata latin “inseminatus” artinya pemasukan atau penyimpanan. Bayi tabung dikenal juga dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai in vitro fertilitation ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Bayi Tabung merupakan salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan dalam sebuah rumah tangga ketika metode lainnya tidak berhasil.

L.     Bayi Tabung Dalam Pandangan Islam
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah bahkan dalam kajian Fiqih klasik sekalipun.  Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.

1.      Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi tabung, diantaranya :
a.       Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.      Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan dirahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.
c.       Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan.
d.      Bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.





2.      Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :
a.       Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-isntri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rosulallah SAW bersabda “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal baginya..”
b.      Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
c.       Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

3.      Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor, antara  lain :
a.       “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS Al-Israa’:70).
b.      “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-tiin:4).
Hadist Nabi SAW yang mengatakan : ” tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang shahih oleh Ibnu Hibban).

M.   Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatosyang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

N.    Macam Macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.      Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.

O.    Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1.      Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
....... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
.......و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan atau menyedekahkan.
Firman Allah SWT : 
....... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.
(البقرة: 178)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).


2.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab).
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya atau rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim atau Ulil Amri).
P.     Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia
1.      Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death). 
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi.
Akan tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

2.      Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara....”. 

Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan

“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”


 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Aborsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan dosa besar, karena kita menghilangkan nyawa seseorang yang layak untuk menikmati kehidupan dan euthanasia tidak boleh dilakukan didunia kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan cara apapun.
Inseminasi buatan atau bayi tabung atau athfaalul anaabib itu masih menjadi perdebatan, meski kita tahu para pakar islam telah menetapkan dalam fatwanya mengenai bayi tabung itu diperbolehkan bila sperma-ovum berasal dari pasangan suami-istri yang sah. Namun alangkah baiknya juga bila kita senantiasa memelihara dan menjaga kesehatan organ vital atau reproduksi kita masing-masing demi kelangsungan generasi ke depan.



B.     Saran
Kita sebagai makhluk yang mulia, sebaiknya menjaga diri demi kelangsungan hidup yang lebih bermanfaat. Janganlah kita melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri kita maupun orang lain dan dapatmenimbulkan dosa besar.



DAFTAR PUSTAKA

As’ad,  Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah KontemporerHukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.Jakarta: Gema Insani Press.
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung
Republika Online >> EnsiklopediaIslam >> Fatwa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar