BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ajaran
syariat islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan
untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam menggapai karunia Allah SWT.
Demikian halnya di antara panca maslahat yang diayomi oleh maqashid
asy-syari’ah (tujuan filosofis agama islam) adalah hifdz an-nasl
(memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan
generasi umat manusia. Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan
hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk
kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna
tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika
bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika, sehingga
sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan
ketentuan syari’ah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini,
sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama,
etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Tak sampai disitu saja,
perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir
dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika
yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah Euthanasia. Euthanasia
merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan
banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu
yang kontra.
Membahas
persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk
dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi
hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja
dilakukan oleh berbagai kalangan, apakah hal itu dilakukan oleh remaja yang
terlibat pergaulan bebas ataupun para orang dewasa yang tidak mau dibebani
tanggung jawab dan tidak menginginkan kelahiran sang bayi ke dunia ini. Data
WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 15-50% kematian ibu
disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran
kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan
meninggal dunia. Dengan kata lain, 1 dari 8 ibu meninggal dunia akibat aborsi
yang tidak aman.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah hukum aborsi menurut pandangan hukum islam?
2.
Bagaimanakah hukum aborsi menurut pandangan hukum positif
Indonesia?
3. Apa pengertian euthanasia?
4. Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?
5. Bagaimana hukum positif tentang euthanasia?
6.
Apakah
pengertian bayi tabung
7.
Bagaimana
hukum bayi tabung menurut pandangan hukum islam?
C.
Tujuan
1.
Mengerti
tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum islam
2.
Mengerti
tentang hukum aborsi menurut pandangan hukum positif Indonesia
3.
Mengerti
tentang euthanasia
4.
Mengerti
tentang hukum euthanasia menurut pandangan islam
5.
Mengerti
tentang hokum positinf euthanasia
6.
Mengerti
tentang pengertian bayi tabung
7.
Mengerti
tentang hokum bayi tabung menurut pandangan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Aborsi dan Perkembangannya
Aborsi merupakan hasil dari propaganda pembatasan jumlah
penduduk dan pertumbuhan populasi manusia. Propaganda ini telah lama muncul
yaitu diakhir abad ke-18 Masehi. Orang yang pertama kali mempropagandakan ide
ini yaitu ide untuk membatasi jumlah penduduk dan pertumbuhan populasi manusia
adalah “Malthus”. Ide ini muncul ketika ia beranggapan bahwa banyaknya
jumlah penduduk akan mengakibatkan dampak yang berbahaya bagi sumber daya alam,
dimana jumlah penduduk akan terus bertambah secara teknis dan berkesinambungan.
Padahal, pada mulanya timbul banyak
pertentangan mengenai aborsi baik dari masyarakat maupun pemerintah.
Teori
Malthus ini diikuti oleh masa berikutnya akan tetapi dengan menggunakan
alat-alat pembatasan keturunan. Gerakan ini terus berkembang di Amerika dan
disambut hangat dari kalangan penduduk dan negara, sehingga hal ini menjadi
tradisi umum sampai terjadi perang dunia pertama th 1914 -1918 H. Adapun bangsa
arab maka merekalah yang paling banyak melakukukan aborsi, sehingga sebagian
kabilah mereka membunuh anak mereka karena takut miskin. Lalu tinggallah para
wanita yang mereka biarkan hidup dalam keadaan terabaikan atau kemiskinan.
B. Pengertian
Aborsi
1. Abortus secara bahasa berasal dari
bahasa Inggris abortion, yang berarti
keguguran kandungan.
2. Menurut istilah abortus adalah berakhirnya
kehamilan sebelum kehamilan berumur 16 minggu. Abortus merupakan suatu
perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari
kandungan, sebelum janin itu dapat hidup diluar kandungan seorang ibu.
3. Aborsi didefinisikan sebagai
penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam
rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Secara
harfiah menstruasi regulation artinya
adalah pengaturan menstruasi atau haid. Akan tetapi dalam prakteknya menstruasi
regulation dilakukan terhadap wanita yang terlambat waktu menstruasi dan
berdasarkan pemeriksaan laboratorium ternyata positif mengandungdan dilakukan
secara sengaja. Islam melarang menstruasi regulation karena pada hakikatnya
sama dengan abortus, merusak atau menghancurkan jiwa yang dimuliakan oleh Allah
SWT.
4. Menurut istilah kedokteran, aborsi
adalah megeluarkan isi rahim sebelum mencapai 28 minggu, yang menjadikanya
tidak dapat hidup. Maka bila lahir setelah waktu tersebut tidak dinamakan sebagai
aborsi menurut kedokteran, tetapi ia dinamakan dengan kelahiran sebelum
waktunya.
5.
Menurut
istilah undang-undang, aborsi adalah mengeluarkan janin dengan unsur
kesengajaan sebelum waktu kelahiran dan dilakukan dengan segala cara yang tidak
dihalalkan oleh undang-undang.
Maka
diberlakukannya hukum bila terdapat tiga syarat yang mengacu pada tindakan
aborsi, yaitu:
1. adanya kehamilan
2.
adanya
praktek-praktek yang mengacu kepada tindakan aborsi
3.
adanya maksud perbuatan kriminal.
6. Menurut istilah Ulama Syar’i, aborsi
adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat – akibat tertentu )
sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan yang tidak
dikehendaki atau diinginkan.
7. Aborsi menurut (Dorland, 2002)
adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus, embrio yang belum dapat hidup. Dengan kata lain,
aborsi adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang
mengakibatkan kematian janin.
8. Aborsi dalam istilah medis adalah
berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan
kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun
setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
9. Sedangkan dalam istilah syari’at,
aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna walaupun janin
belum mencapai usia enam bulan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa aborsi secara
syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan
bentuk janin tersebut.
C. Macam
– Macam Aborsi
Aborsi
itu sendiri dibagi menjadi tiga yaitu:
1.
Aborsi Spontan / Alami (Al-Ijhâdh at-Tilqâ’i atau al-‘Afwi)
Merupakan aborsi yang berlangsung tanpa tindakan apapun.
Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma
atau aborsi yang terjadi secara alami tanpa adanya upaya - upaya dari luar
(buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut.
2.
Aborsi Terapeutik / Medis (Al-Ijhâdh al-‘Ilâji)
Merupakan
aborsi dengan pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medis.
Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah
tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik
calon ibu maupun janin yang dikandungnya.Tetapi ini semua atas pertimbangan
medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
3.
Aborsi Buatan / Sengaja (Al-Ijhâdh al-Ijtimâ–’i)
Merupakan
aborsi yang dilakukan dengan mengakhiri kehamilan sebelum usia kandungan 28
minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu
maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Melihat klasifikasi yang ada di
atas, dapat dilihat bahwa jenis pertama tidak masuk dalam kemampuan dan
kehendak manusia.
Sedangkan jenis kedua tidaklah dilakukan kecuali dalam keadaan darurat yang menimpa sang ibu, sehingga kehamilan dan upaya mempertahankannya dapat membahayakan kehidupan sang ibu. Sehingga aborsi menjadi satu-satunya cara mempertahankan jiwa sang ibu, dalam keadaan tidak mungkin bisa mengupayakan kehidupan sang ibu dan janinnya bersama-sama. Dalam keadaan seperti inilah mengharuskan para medis spesialis kebidanan mengedepankan nyawa ibu daripada janinnya. Memang nyawa janin sama dengan nyawa sang ibu dalam kesucian dan penjagaannya, namun bila tidak mungkin menjaga keduanya kecuali dengan kematian salah satunya maka hal ini masuk dalam kaedah “Melanggar yang lebih ringan dari dua madharat untuk menolak yang lebih berat lagi” (Irtikâbul khaffi ad-Dhararain Lidaf’i A’lahuma).
Di sini jelaslah kemaslahatan mempertahankan nyawa sang ibu didahulukan daripada kehidupan sang janin, karena ibu adalah induk dan tiang keluarga. Dengan takdir Allah Azza wa Jalla ia bisa melahirkan berulang kali, sehingga didahulukan nasib sang ibu dari janinnya.
Permasalahan yang penting dalam pembahasan ini adalah hukum aborsi jenis ketiga yaitu Al-Ijhâdh al-Ijtimâ’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi.Telah dimaklumi bahwa janin mengalami fase-fase pembentukan sebelum menjadi janin yang sempurna dan lahir menjadi bayi. Di antara pembeda yang banyak dilihat para ahli fikih yang berbicara dalam hal ini adalah adanya ruh dalam janin tersebut.
D. Hukum
Abortus
Aborsi
merupakan suatu pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia dan merupakan
suatu dosa besar.
Merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yaitu pada Surat Al Maidah ayat 32, setiap
muslim meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh
semua umat manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu
membunuh anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya
secara layak. Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan
syari’at Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya
sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga. Sehingga Islam memperbolehkan
seorang wanita hamil untuk buka puasa (tidak puasa) pada bulan ramadhan. Bahkan
kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan kesehatan kandungannya. Karena
itu syari’at Islam mengharamkan tindakan yang melampaui batas terhadapnya.
Meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya
dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram, yang dilakukan dengan
jalan perzinahan, janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan
manusia hidup yang tidak berdosa.
Firman Allah dalam Q.S
Al-isra’ yang artinya:
“Dan seorang yang berdosa tidak
dapat memikul dosa orang lain.”
(Al-Isra’:15)
Allah berfirman dalam QS. Al-Israa : 31
Artinya:
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Dengan dasar ini maka hukum aborsi dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua:
1. Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh
Melihat pendapat para Ulama fikih dari berbagai madzhab, dapat disimpulkan bahwa pendapat mereka dalam masalah ini menjadi 3 kelompok:
a. Kelompok yang membolehkan aborsi
sebelum ditiup ruh pada janin. Ini pendapat minoritas Ulama madzhab Syâfi’iyah,
Hambaliyah dan Hanafiyah.
b. Kelompok yang membolehkan aborsi
sebelum dimulai pembentukan bentuk janin yaitu sebelum empat puluh hari
pertama. Ini pendapat mayoritas mazhhab Hanafiyah, Syâfi;’iyah dan Hambaliyah.
Pendapat ini dirajihkan Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah.
c. Kelompok yang mengharamkan aborsi
sejak terjadinya pembuahan dalam rahim. Ini pendapat yang rajih dalam madzhab
Mâlikiyah, pendapat imam al-Ghazâli, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab
al-Hambali dan Ibnu al-Jauzi. Inilah pendapat madzhab Zhahiriyah.
Sedangkan Syaikh Ahmad Sahnuun
seorang Ulama dari Maroko menyatakan: “Aborsi adalah perbuatan tercela dan
kejahatan besar yang dilarang dalam Islam. Juga diingkari jiwa kemanusian dan
jiwa-jiwa yang mulia menolaknya. Sebab hal itu adalah pembunuhan jiwa yang
Allah Azza wa Jalla haramkan, perubahan ciptaan Allah Azza wa Jalla dan
menentang takdir/kehendak Allah Azza wa Jalla ”.
Islam telah melarang membunuh jiwa
seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
(Qs
Al-Isra`/17:33)
Sebagaimana juga melarang sikap
merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:
وَلَآمُرَنَّهُمْ
فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
“Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya.”
[Qs.An-Nisaa`(4):119]
Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya” [Qs. At-Takwîr(81): 8]
Baik aborsi dilakukan di fase awal janin atau setelah ditiupkan ruh padanya. Sebab semua fase pembentukan janin berisi kehidupan yang harus dihormati, yaitu kehidupan pertumbuhan dan pembentukannya. Hal ini menyelisihi orang-orang yang membolehkan aborsi sebelum ruh ditiupkan. Mereka beranggapan bahwa sebelum adanya ruh maka tidak ada kehidupan padanya, sehingga tidak ada kejahatan dan keharaman. Mereka dengan membolehkan hal itu berarti telah membuka pintu yang sulit dibendung dan memberikan senjata kepada tangan lawan dan musuh Islam untuk mencela Islam. Setelah dipastikan secara ilmiyah bahwa aborsi memiliki bahaya bagi kesehatan dan kehidupan wanita, sehingga aborsi diharamkan untuk dilakukan, karena menghilangkan madharat lebih didahulukan dari mengambil kemaslahatan.
Sedangkan DR. Ibrahim Haqqi menyatakan: “Diharamkan aborsi karena merupakan pembunuhan jiwa yang tidak berdosa dan menjerumuskan jiwa lainnya yaitu sang ibu kepada bahaya yang banyak hingga bahaya kematian. Ini adalah perkara yang terlarang.”
2. Aborsi
Setelah Ditiupkan Ruh Pada Janin (Setelah Empat Bulan)
Telah
dijelaskan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hukum aborsi
saat sebelum peniupan ruh pada janin. Sedangkan setelah peniupan ruh, para ahli
fikih sepakat bahwa janin telah menjadi manusia dan bernyawa yang memiliki
kehormatan dan kemuliaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa
Jalla :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
[Qs.
Al-Isrâ`(17) : 70]
firman Allah Azza wa Jalla :
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya”.[Al-Mâidah(5):32]
Demikianlah,
menjadi jelas bagi kita bahwa aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin adalah
kejahatan yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan sangat darurat yang
dipastikan. Caranya dengan mengambil keputusan para medis yang terpercaya dan
ahli di bidang tersebut; yaitu bahwa adanya janin itu membahayakan kehidupan
sang ibu. Perlu diketahui dengan adanya kemajuan sarana kedokteran modern dan
kemampuan ilmu serta tersedianya semua keperluan tentang hal itu, maka aborsi
untuk penyelamatan nyawa ibu adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi.
E. Sebab-Sebab
Aborsi
1.
Karena
takut miskin atau pengahasilan yang tidak memadai, aborsi ini dilarang
berdasarkan firman Allah Stw :
“Dan janganlah kamu membunnuh
anak - anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi
rezeki kepada meraka dan juga kepadamu. sesungguhnya mmembunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar.”(Qs. Al Israa’ (17): 31)
- karena
ibu khawatir anak yang tengah disusuinya terhenti mendapatkan asi
- takut
janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya
- kekhawatiran
akan kelangsungan hidup ibu apabila kehamilan membahayakan kesehatannya
- niat
menggugurkan janin pada kanndungan kehamilan yang tidak di syariatkan
akibat perzinahan
Dalil tentang aborsi dalam al-Quran,
antara lain :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (Alasan) yang
benar. dan barang siapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
seungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al Israa’ (17)
:33)
“Setiap muslim meyakini bahwa
siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh semua umat manusia.
Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu membunuh anakmu
karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya secara layak.”(Qs.
Al Maidah (5): 32)
“Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada
mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar.”
(QS Al-Isrâ`[17]: 31).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya
karena dosa apakah ia dibunuh.” (QS at-Takwîr [81]: 8-9).
F.
Resiko dan Dampak dari Aborsi
1.
Resiko
Aborsi
Aborsi memiliki resiko penderitaan
yang berkepanjangan terhadap kesehatan maupun keselamatan hidup seorang wanita.
Tidak benar jika dikatakan bahwa seseorang yang melakukan aborsi ia ” tidak
merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang “. Resiko kesehatan terhadap wanita
yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan
gangguan psikologis. Resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi
seorang wanita pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah ;
a.
Kematian
mendadak karena pendarahan hebat.
b.
Kematian
mendadak karena pembiusan yang gagal.
c.
Kematian
secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
d.
Rahim
yang sobek (Uterine Perforation).
e.
Kerusakan
leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
f.
Kanker
payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita).
g.
Kanker
indung telur (Ovarian Cancer).
h.
Kanker
leher rahim (Cervical Cancer).
i.
Kanker
hati (Liver Cancer).
j.
Kelainan
pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya
dan pendarahan hebat pada kehamilan berikutnya.
k.
Menjadi
mandul atau tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
l.
Infeksi
rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
m.
Infeksi
pada lapisan rahim (Endometriosis)
2.
Dampak
Aborsi
a.
Timbul
luka-luka dan infeksi-infeksi pada dinding alat kelamin dan merusak organ-organ
didekatnya seperti kandung kemih atau
usus.
b.
Robek
mulut rahim sebelah dalam (satu otot lingkar). Hal ini dapat terjadi karena
mulut rahim sebelah dalam bukan saja sempit dan perasa sifatnya, tetapi juga
kalau tersentuh, maka ia menguncup kuat-kuat. Kalau dicoba untuk memasukinya
dengan kekerasan maka otot tersebut akan menjadi robek.
c.
Dinding
rahim bisa tembus, karena alat-alat yang dimasukkan ke dalam rahim.
d.
Terjadi
pendarahan. Biasanya pendarahan itu berhenti sebentar, tetapi beberapa hari
kemudian atau beberapa minggu timbul kembali. Menstruasi tidak normal lagi
selama sisa produk kehamilan belum dikeluarkan dan bahkan sisa itu dapat
berubah menjadi kanker.
G. Aborsi
Menurut Pandangan Hukum Islam
Abortus (al-ijhâdh)menurut bahasa berarti
menggugurkan kandungan yang kurang masanya atau kurang kejadiannya, tidak ada
perbedaan antara kehamilan anak permpuan atau laki – laki, baik aborsi ini
dilakukan dengan sengaja atau tidak. Lafazh ijhadh memiliki beberapa sinonim
seperti isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah (melempar), dan imlash
(menyingkirkan).
Ada
beberapa pendapat para ulama fiqih tentang aborsi dilakukan sebelum dan sesudah
ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Pendapat
yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli dalam
kitabnya An Nihayah dengan alasan
karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh,
dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Bahkan Mahmud Syaltut,
mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel
sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan
pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi
makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan
dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi
dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi
yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh.
Pendapat
yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar dalam
kitabnya At Tuhfah dan Al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya
melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada
kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan.
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut.
Firman Allah SWT:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).” (QS al-An’âm [6]: 151)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al-Israa` [17]: 33).
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam atau lebih adalah hadis Nabi s.a.w berikut:
إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا ثُمَّ. قَالَ يَا رَبِّ ... أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى فَيَقْضِى رَبُّكَ مَا شَاء
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),'Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?' Maka Allah kemudian memberi keputusan...” [HR Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan,
berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan
pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau
perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana
telah diterangkan dalam hadis shahih dalam masalah tersebut.
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan 'azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. 'Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab 'azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perempuan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah s.a.w telah membolehkan 'azl kepada seorang
laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak
perempuannya, sementara dia tidak menginginkan budak perempuannya hamil.
Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَاعْزِلْ ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَعْزِلْ. ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَعْزِلْ.
“Dari Sa’id bin al-Musayyab (isteri-isterimu
adalah lading bagimu, maka datangilah ladangmu dari menurut kehendakmu),
Rasulullah s.a.w. bersabda: Lakukanlah 'azl padanya jika kamu suka, jika kamu
(tak) menghendaki jangan kamu lalukan!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud]
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu.
Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh
ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
(QS al-Mâ’idah [5]: 32).
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk
pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah s.a.w telah memerintahkan umatnya
untuk berobat. Rasulullah s.a.w bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!” [HR. Ahmad].
Kaedah fikih dalam masalah ini menyebutkan:
إِذَا تَعَارَضَتْ المَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Jika berkumpul dua mafsadat (keburukan), maka harus dipertimbangkan yang lebih besar madharatnya dan dipilih yang lebih ringan (madharatnya).” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaedah ini, seorang wanita dibolehkan
menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam
hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Namun tak syak lagi bahwa
menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada
menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan
keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al-Baghdadi, 1998).
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan
penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel
telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang
lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian
kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa
sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada
kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian.
Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas
yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas
‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya
kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah
dibolehkan oleh Rasulullah s.a.w. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan
haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah
adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadis-hadis yang membolehkan ‘azl.
H. Aborsi
Menurut Hukum Positif Indonesia
1. Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP BAB XIX).
Dalam kitab
UU hukum pidana (KUHP) Indonesia melarang aborsi dan sanksi hukumnya cukup
berat. Hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan tetapi
semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu.
Tindakan
aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia dikategorikan
sebagai tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.
Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang
Aborsi (Abortus Provocatus):
a. Pasal 229 (1) Barang siapa dengan sengaja
mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan
atau ditimbulkan harapan, bahwa karenapengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
tiga ribu rupiah. (2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari
keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau
kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat
ditambah sepertiga. (3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam
menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
b. Pasal 314 “Seorang ibu yang, karena takut
akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak
sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
c. Pasal 342 “Seorang ibu yang, untuk melaksanakan
niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak,
pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya,
diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
d. Pasal 343 “Kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan,
sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
e. Pasal 346 “Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
f. Pasal 347 (1) Barangsiapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2)Jika perbuatan
itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
g. Pasal 348 (1) Barangsiapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2)Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
h. Pasal 349 “Jika seorang tabib, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan”.
i.
Pasal
535 “Barang siapa secara
terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan,
maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara
terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa
didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa:
·
Seorang
perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat
tahun penjara.
·
Seseorang
yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut,
diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
·
Jika
dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila
ibu hamil tersebut mati diancam hukuman
7 tahun penjara.
·
Jika
yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter,
bidan atau juru obat ancaman hukumannya
ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktik dapat dicabut.
·
Setiap
janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta mempertahankan hidupnya.
I. Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009
Tentanng Kesehatan
Pengaturan mengenai
praktik aborsi diatur di dalam Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan dan KUHP. Pada prinsipnya, setiap orang dilarang
melakukan aborsi, sebagaimana dimaksud di dalam pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan berikut ini :
1.
Setiap
orang dilarang melakukan aborsi. (Namun, menurut pasal 75 ayat 2)
2.
UU
Kesehatan, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi
sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang.
Menurut Pasal 76 UU
Kesehatan menyatakan syarat-syarat boleh dilakukannya aborsi.
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
2. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki
keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan
4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Adapun ancaman
pidana untuk pelanggar pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan di atas terdapat di dalam
pasal 194 UU Kesehatan berikut ini :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
aborsi tidak sesuai dengan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Sanksi pidana di
dalam KUHP untuk praktik aborsi pun dinyatakan secara tegas untuk bidan atau
dokter yang membantu melakukan kejahatan ini ( pasal 346, 347, 348, dan 349).
Pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
J. Aborsi Sebagai Problematika Masyarakat
Ketika hak asasi manusia untuk hidup dan menikmati
kehidupan, maka pada saat itulah terjadi sebuah kekejaman yang teramat keji.
Terlebih lagi ketika yang dibunuh adalah sesosok bayi mungil dalam kandingan
ibundanya yang beberapa waktu ke depan akan tumbuh menjadi bayi yang normal.
Aborsi merupakan tindakan yang nyata dan menjadi problematika karena frekuensi
aborsi di Indonesia agak sulit dihitung secara akurat karena memang sangat
jarang yang pada akhirnya dilaporkan.
Memang yang ada hanya angka-angka yang berupa data statistik,
namun kita seharusnya dapat menganalisa secara lebih mendalam bahwa dari angka
yang teramat besar itulah nyawa-nyawa bayi-bayi mungil yang tidak berdosa
dipaksa untuk mati dengan dibunuh secara keji. Sungguh tingkat pembunuhan yang
sangat terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan peristiwa peperangan ataupun
peristiwa kematian akibat penyakit di suatu negara yang bahkan tidak sampai
setengahnya dibandingkan dengan tingkat aborsi. Secara total dalam sejarah dunia pun, jumlah kematian karena
aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika
digabung sekaligus. Selain dari keselamatan bayi, keselamatan wanita hamil yang
melakukan aborsi juga sangat mengkhawatirkan dan memiliki risiko kematian cukup
besar.
Bagaimana
pula dengan petugas medis yang tampak tidak merasa bersalah ketika membantu
proses aborsi berlangsung bahkan menjadikannya sebagai komoditi jasa yang
menjanjikan pendapatan yang cukup besar. Sampai saat ini memang cukup banyak
praktik aborsi yang bahkan sebagian besar ilegal. Beberapa hal
di atas merupakan problematika aborsi dalam masyarakat, mengingat alasan
melakukan aborsi ada beragam, diantara ketidaksiapan mempunyai anak karena
khawatir mengganggu karir atau kesibukan, keterbatasan ekonomi atau bahkan
karena ingin menutupi aib karena hamil di luar nikah. Alasan tersebut
kesemuanya tidak bisa dibenarkan, untuk lebih jauh pembahasannya akan
doterangkan pada bab selanjutnya mengenai hukum aborsi dipandang dari berbagai
sumber
K. Pengertian
Bayi Tabung (Inseminasi Buatan)
Bayi tabung merupakan
terjemahan dari artificial
insemination. artificial
artinya buatan atau tiruan, sedangkan insemination berasal dari
kata latin “inseminatus” artinya pemasukan atau penyimpanan. Bayi tabung
dikenal juga dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa inggris
dikenal sebagai in vitro fertilitation ini adalah sebuah teknik
pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita tanpa melalui senggama (sexual
intercourse). Bayi Tabung merupakan salah satu metode untuk mengatasi
masalah kesuburan dalam sebuah rumah tangga ketika metode lainnya tidak
berhasil.
L.
Bayi Tabung Dalam Pandangan Islam
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan islam
termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara
spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah bahkan dalam kajian Fiqih klasik
sekalipun. Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di
Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
1.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
fatwanya menetapkan 4 keputusan terkait masalah bayi tabung, diantaranya :
a.
Bayi tabung dengan sperma dan ovum
dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk
ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.
b.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan
teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan dirahim
perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena dikemudian hari hal itu akan
menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.
c.
Bayi tabung dari sperma yang
dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Sebab, hal ini
akan menimbulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab
maupun dalam hal kewarisan.
d.
Bayi tabung yang sperma dan ovumnya
tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah hal tersebut juga hukumnya
haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis
diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.
2.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada
tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah Bayi
Tabung, diantaranya :
a.
Apabila mani yang ditabung atau
dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-isntri yang
sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadist
yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rosulallah SAW bersabda “Tidak ada dosa yang
lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan dengan
perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) didalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya..”
b.
Apabila sperma yang ditabung
tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka
hukumnya juga haram. Mani Muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan
cara yang tidak dilarang oleh syara’.
c.
Apabila mani yang ditabung itu mani
suami-istri yang sah dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta
dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah
(boleh).
3.
Dalil-dalil syar’i yang dapat
dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor,
antara lain :
a.
“Dan sesungguhnya telah kami
muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS Al-Israa’:70).
b.
“Sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-tiin:4).
Hadist Nabi SAW yang mengatakan : ” tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma)
pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan
dipandang shahih oleh Ibnu Hibban).
M.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu
yang berarti “baik”, dan thanatosyang
berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu
ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti
tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
N.
Macam Macam Euthanasia
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia
aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan
suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan
lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang
diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan
mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang
menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering
kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal
dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Euthanasia Pasif
Adapun
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang
terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif
lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu
tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian
medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana
pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh atau
orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka
dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara mana pun.
O.
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu
mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi
syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
.......
و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan tidak layak bagi seorang
mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja)…”
(QS An-Nisaa` : 92)
.......و لا تقتلوا أنفسكم إن
الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram
hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke
dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak
pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi
qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah),
sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul)
menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya
mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan atau menyedekahkan.
Firman
Allah SWT :
....... فمن عفي له من أخيه شيء
فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.
(البقرة:
178)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula).”
(QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta
di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3
tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits
Nabi riwayat An-Nasa`i.
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau
dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram
emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram
perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang
sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian
dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui
dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada
seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,
maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan
Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu
seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil
pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti
darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah
menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga
untuknya.”
(HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan
berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya
lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat
pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada
pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah
berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub
(sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian
ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Sesungguhnya Allah Azza
Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka
berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW
memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu
hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab).
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya
menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa
tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain
justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits
lain membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu
Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat.
Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan
berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah
berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat
hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan
sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah bukan wajib. Kematian otak
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi
pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak
akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun
akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum
pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien
–setelah matinya atau rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak
haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien,
dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung
jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter,
disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah
orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak
mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa
(Al-Hakim atau Ulil
Amri).
P.
Pandangan Hukum Positif
Tentang Euthanasia
1. Menurut Aspek Medis
Dalam bidang
kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter
dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan
atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang
menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing)
dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death).
Selain
tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus
menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan
masalah teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika
Kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab
II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia
tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini
berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan
mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman
tidak akan sembuh lagi.
Akan tetapi
apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan
fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati
walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus
diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara
keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian,
dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri
penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.
2. Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP
mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang
sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak
melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut
berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara....”.
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal,
dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu
pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan
makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Aborsi merupakan tindakan yang dapat
menimbulkan dosa besar, karena kita menghilangkan nyawa seseorang yang layak
untuk menikmati kehidupan dan euthanasia tidak
boleh dilakukan didunia kedokteran
maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran
dan melanggar KUHP didalam masyarakat.
Disamping fakta bahwa Euthanasia
itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk
mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan.
Akan tetapi,
hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa
tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut
hak hidup seseorang karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan
yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang
dikehendakinya. Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa
kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar
mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan
kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang
telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung
jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan
cara apapun.
Inseminasi buatan atau bayi tabung
atau athfaalul anaabib itu masih menjadi perdebatan, meski kita tahu para pakar
islam telah menetapkan dalam fatwanya mengenai bayi tabung itu diperbolehkan
bila sperma-ovum berasal dari pasangan suami-istri yang sah. Namun alangkah
baiknya juga bila kita senantiasa memelihara dan menjaga kesehatan organ vital
atau reproduksi kita masing-masing demi kelangsungan generasi ke depan.
B.
Saran
Kita sebagai
makhluk yang mulia, sebaiknya menjaga diri demi kelangsungan hidup yang lebih
bermanfaat. Janganlah kita melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri kita
maupun orang lain dan dapatmenimbulkan dosa besar.